Slogan ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ Kini Tinggal Kenangan

Judul salah satu lagu nusantara; Nenek Moyangku Seorang Pelaut, kini tinggal kenangan. Sebabnya, wajah pelaut Indonesia sekurang-kurangnya dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suram.

Menurut pengamat maritim dari The National Maritime Institute, Siswanto Rusdi mengatakan pelaut masih saja menjadi obyek penderita. Dan penderitaan ini dinilainya masih akan terus berlangsung.
“Sayangnya, setahun ke depan keadaan pelaut Indonesia diperkirakan akan tetap seperti yang sudah-sudah jika tidak hendak dikatakan semakin menderita.

Mengapa nasib pelaut Indonesia begitu malangnya? Di mana letak pokok persoalannya? Sekadar catatan, persoalan yang membelit pelaut Indonesia sudah dimulai sejak mereka mengikuti proses pelatihan/pendidikan, sertifikasi hingga penempatan di atas kapal-kapal domestik maupun internasional. Dan, semua persoalan itu berawal dari terpusatnya pengelolaan bidang kepelautan pada satu tangan instansi tanpa ada check and balances dari pihak lain,” ungkap Rusdi seperti dikutip laman Namarin , Jakarta (16/1/2017).

Rusdi menjelaskan, gambaran pelaut di tahun 2017 masih berkutat pada proses sertifikasi dan penempatan pelaut yang tidak akan berubah. Malahan beban mereka dipastikan akan makin berat seiring akan diberlakukannya STCW 2010 (Amandemen Manila).

“Bukan aturannya yang berat tetapi kewajiban pemutahiran (up dating) sertifikat kecakapan untuk para pelaut yang membuat menjadi horor.

Dengan akan diberlakukannya aturan IMO tentang pelaut tersebut, semula Januari namun diundur Juli 2017, Kemhub sudah mewajibkan para pelaut agar melakukan up dating,” terangnya.

Ia menambahkan, saking semangatnya Kemhub dengan proyek pemutahiran sertifikat pelaut, sampai-sampai pelaut yang bekerja di sungai sekalipun juga disuruh ikut. Padahal, STCW 2010, termasuk aturan sebelumnya, hanya berlaku bagi pelaut yang melayari perairan internasional.
“Di samping itu, yang dimintai ikut juga termasuk calon pelaut yang baru akan mencari dengan sertifikat yang akan didapat,” tambahnya.

Informasi dari Perhimpunan Pelaut Indonesia (PPI) mengatakan, tersedia dana APBN bagi proyek sertifikasi pelaut sesuai STCW 2010 yang besarnya lebih dari Rp1 triliun. Hanya saja, tidak ada penjelasan yang memadai bagaimana dana itu akan dipergunakan.
“Pada 2016, Kemhub juga menyediakan dana untuk program sertifikasi gratis. Instansi ini terutang penjelasan terkait berapa banyak jumlah peserta yang sudah disertifikasi dan berapa jumlah yang terpakai. Itu bermakna, di tahun baru (2017, red) akan disongsong ‘nenek moyang’ kita akan masih dihantui praktik pungutan liar ketika mereka berusaha mendapatkan sertifikat demi pekerjaan yang tengah diburu. Semoga tidak begitu,” pungkasnya.

Sumber: NUSANTARANEWS.CO